PERKEMBANGAN BENTUK TULISAN AL-QUR‘AN

Benarkah Bentuk Tulisan Al-Qur’an dari Nabi SAW?

Nabi SAW adalah orang yang yang tidak bisa membaca dan menulis, maka ia tidak mungkin menulis bacaan Al-Qur’an yang diterima dari malaikat Jibril. Oleh sebab itu Nabi SAW menunjuk beberapa sahabat untuk menjadi juru tulis. Persoalannya adalah apakah Nabi SAW hanya membimbing bacaan ataukah sekaligus mengarahkan penulisan Al-Qur’an? Tidak ada penjelasan yang bersumber dari Nabi SAW. Karena itu, para ulama berbeda pendapat. Abu Bakar al-Baqilani dan ibnu Khaldun berpendapat bahwa bentuk tulisan dalam mushaf Al-Qur’an merupakan hasil pemikiran para sahabat sesuai dengan apa yang dibacakan Nabi SAW kepada mereka. Tingkat pengetahuan penulisan para sahabat berbeda, sehingga bentuk tulisan Al-Qur’an pun banyak yang menyalahi kaidah penulisan yang benar.

Menurut Ibn al-Mubaraq, Syekh ‘Abd al-‘Aziz al-Dabbagh (guru Ibn Al-Mubaraq), Ibnu Abi Syaibah, Al-Sya’bi, ‘Abdullah bin Ahmad al-Harawi, Abu al-Fath Al-Nisaburi, Abu al-Walid Al-Baji, Al-Samnani, dan sebagian besar ulama lainnya, Nabi SAW bisa membaca dan menulis setelah berulang menerima wahyu. Untuk itu Nabi SAW juga mengarahkan bentuk tulisan Al-Qur’an kepada para sahabat. Diantara beberapa hadis yang memperkuat pendapat kemampuan Nabi SAW dalam menulis adalah sabda Nabi SAW kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan, salah seorang juru tulis Nabi SAW. “ Letakan tempat tinta. Pegang pena baik-baik. Luruskan huruf Ba’. Bedakan huruf sin. Jangan membutakan (menutup lubang) huruf min. Tulislah kata Allah dengan sebaik-baiknya. Panjangkan kata Al-Rahman. Perbaiki kata Al-Rahim. Letakan penamu ditelinga kirimu, karena itu akan membuatmu lebih ingat.

Dari kedua pendapat diatas, terdapat pendapat yang memilih jalan tengah, yaitu pendapat Imam ‘Izzuddin Ibnu ‘Abd al-salam, Imam malik bin Anas, Imam Al-Syafi’i, dan ulama ahli hukum islam lainnya. Pendapat ini meyakini bentuk tulisan dimushaf Al-Qur’an sebagai hasil pengarahan Nabi SAW. Hanya saja mengubah bentuk tulisan Al-Qur’an untuk mempermudah pembelajaran diperbolehkan. Alasan ini juga dianggap lemah. Mengingat tanpa perubahan pun bentuk tulisan Al-Qur’an masih dapat dibaca denga jelas. Bila Nabi SAW diaktakan tidak bisa membaca dan menulis sekalipun, maka Nabi SAW tetap bisa mengarahkan penulisan Al-Qur’an. Bukankah Nabi SAW mendapat bimbingan dari malaikat  Jibril AS, baik bacaan maupun penulisan Al-Qur’an.

Dengan keyakinan diatas, bentuk tulisan A-Qur’an memiliki hikmah dan keistimewaan tersendiri. Tidak sedikit bentuk penulisan dalam mushaf Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Namun hal ini justru dipandang tepat ketika huruf-hurufnya dihitung dan dibandingkan dengan huruf-huruf yang lain.

Penyempurnaan Tulisan pada Mushaf Al-Qur’an

Mushaf Al-Qur’an yang dihasilkan oleh tim pada masa pemerintahan ‘Utsman bin Affan RA, ditulis dengan bentuk huruf kufi tanpa titik dan tanpa tanda bunyi. Sulit dibedakan antara huruf Ba; Ta’, Tsa’ dan Nun; Jim, Ha’, dan Kho; huruf Sin; dan Syin, huruf Dal dan Dza; Huruf Shad dan Dlod; dan sebagainya. Penulisan huruf kufi tersebut berlangsung sejak masa Nabi SAW. Para juri tulis Nabi SAW juga menuliskan ayat Al-Qur’an maupun surat Nabi SAW dengan huruf tanpa titik dan tanda bunyi. Meskipun Nabi SAW tidak bisa membaca dan menulis, uniknya Nabi SAW membimbing penulisan ayat al-Qur’an, bukan penulisan surat pribadinya. Salah satu juru tulis wahyu, Mu’awiyah bin Abu Sufyan RA, pernah diarahkan Nabi SAW saat menuliskan ayat Al-Qur’an. Semua sahabat juga mencatat wahyu dihadapan Nabi SAW. Karenanya catatan-catatan ini dibutuhkan Zaid bin Tsabit RA ketika menulis kembali ayat-ayat Al-Qur’an pada lembaran-lembaran dimasa Khalifah Abu Bakar. Bagi Zaid, penulisan Al-Qur’an sangat unik. Banyak bentuk tulisannya yang menyalahi kaidah bahasa Arab. Zaid tidak menulis pedoman hafalan, melainkan berdasarkan catatan-catatan yang diketahuinya sesuai dengan pengarahan Nabi SAW.

Pengajaran Al-Qur’an dengan hafalan dan penyalinan dengan huruf kufi tanpa titik dan tanda bunyi berlangsung kurang lebih 40 tahun. Selama itu, tidak ada keberanian untuk memberikan titik maupun tanda apapun dari mushaf Al-Qur’an. Hal ini terpengaruh oleh fatwa ‘Abdullah bin Mas’ud RA, sahabat Nabi SAW, sekaligus pakar terkemuka Al-Qur’an. ‘Abdullah bin mas’ud berkata, “Murnikan Al-Qur’an. Jangan  dicampuri sesuatu apapun”. Karena fatwa ini pula , para murid sahabat tidak berani memberi pengharum pada mushaf Al-Qur’an atau memasukan tanda kertas didalamya. Pakar kaedah bahasa arab, Abu al-Aswad al-Duali juga tidak berani melakukan pembenahan tulisan pada mushaf Al-Qur’an , meskipun didesak oleh Ziyad bin Abihi, salah seorang gubernur Khalifah Mu’awiyah bin Abi sufyan RA.

Khalifah Mu’awiyah bin Abi sufyan menulis surat kepada Ziyad bin Abihi. Gubernur Basrah agar mengutus putranya ,’ Ubaidullah bin Ziyad untuk menghadap kepadanya, khalifah mu’awiyah terkejut melihat bahwa anak muda itu telah melakukan kesalahan ejaan dalam pembicaraanya. Khalifah mu’awiyah langsung mengirim surat teguran kepada Ziyad atas kejadian itu. Ziyad langsung menulis kepada pakar bahasa, Abu al-aswad al-Duali. “sesungguhnya orang-orang non arab telah semakin banyak dan telah merusak bangsa arab. Maka, cobalah Anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa orang-orang itu dan membuat mereka membaca Al-Qur’an dengan benar. Abu al-Aswad al-Duali sendiri pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan.

Ziyad melakukan trik kecil, Tatkala Abu al-Aswad lewat, orang ini membaca surat at-taubat ayat 3, “Annalla-ha bari-un minal musyriki-na warosu-lihi” ia mengganti “wa rosuluhu”menjadi ”wa rosulihi”.

Bacaan yang salah itu didengar oleh Abu al-Aswad dan membuatnya terpukul. “maha suci Allah, tidak mungkin Allah berlepas diri dari Rasul-Nya”. Ujarnya. Peristiwa ini mendorong Abu Al-Aswad untuk memenuhi permintaan Ziyad. Ia pun menunjuk seorang pria dari suku Abd al-Qais untuk membantu usahaya. Tanda pertama yang diberikan Abu al-Aswad adalah tanda bunyi huruf. Abu Al-Aswad membaca dengan hafalannya, sedangjan stafnya memberi tanda dimushaf al-Qur’an yang dipegangnya dengan tinta merah agar berbeda dengan hurufnya yang berwarna hitam. Bunyi “a” diberi satu titik diatas huruf; bunyi “i” dibawah huruf; dan bunyi “u” didepan huruf. Dan tanda mati dengan tanda titik diatas. Setiap kali usai satu halaman, Abu Al-aswad memeriksanya kembali melanjutkan kehalaman berikutnya.

Kerangka Abu al-aswad al-Dauli tersebut disempurnakan oleh generasi berikutnya. Tercatat nama Yahya bin Ya’mar dan Nashr bin ‘Ashim al-Laitsi, murid Abu al-Aswad sendiri. Kesempurnaan bentuk tulisan mencapai puncaknya ditangan Imam al-Khalil bin Ahmad al-Farahadi. Ia menggantikan tanda bunyi yang telah dibuat oleh Abu al-Aswad : titik atas sebagai bunyi “a” dengan alif terlentang diatas huruf; titik bawah sebagai bunyi “i” dengan huruf Ya’ kecil dibawah; titik ditengah sebagai huruf “u” dengan huruf wawu kecil diatas; dua titik sebagai bunyi mati dengan huruf Ha’kecil; tanda bunyi ganda dengan kepala huruf Sin  diatas. Jadi penulisan Mushaf Al-Qur’an yang sekarang ini adalah kreasi dari Imam Al-Khalil bin Ahmad al-Farahandi.

Pembagian Susunan Mushaf Al-Qur’an

Pada masa Nabi SAW dan generasi sahabat, umat islam berlomba-lomba membaca Al-Qur’an sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya. Pada masa Khalifah ‘Abd al-Malik bin marwan, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberi tanda pembagian mushaf Al-Qur’an. Al-Hajjaj bin Yusuf, pejabat yang diberi tugas mengundang para penghafal Al-Qur’an.

Al-Hajjaj membagi berdasarkan jumlah huruf, maka ulama sesudahnya membagi mushaf Al-Qur’an berdasarkan jumlah ayat. Pada abad ke-2 hijriah, mushaf Al-Qur’an dibagi menjado 30 juz, sebagaimana ynag terlihat saat ini. Sesudah itu para ulama merumuskan pembagian berikutnya, yaitu dalam beberapa hizb. Jadi setiap juz terdiri dari dua Hizb. Setiap Hizb dibagi dalam empat Rubu’. Umat islam berkeinginan menyelesaikan (khataman) bacaan Al-Qur’an dalam waktu satu bulan, hizb menjadi ukurannya. Demikian seterusnya, disesuaikan dengan kemmpuan masing-masing.

Perkembangan mushaf Al-Qur’an semakin pesat dimasa pemerintahan dinasti ‘Abasiyyah yang tersentuh dengan budaya persia. Jenis tulisan yang semula kufi diganti dengan tulisan naski oleh ibnu maklah pada tahun 328 H. Warna tulisan tidak lagi hitam, tetapi ditambah dengan warna yang lainnya. Seperi warna merah untuk tanda baca, warna hijau untukbatas bacaan, dan sebagainya.

Dalam perjalanan waktu tersebarnya perjalanan agama islam keseluruh peloksok dunia memunculkan kesalahan bacaan Al-Qur’an . Untuk itu para ula,a merintis disiplin ilmu yang membantu umat islam dalam membaca Al-Qur’an dengan benar. Yitu dengan memberi tanda waqof (berhenti). Ilmu ini tidak saja dirumuskan secara teoritis, melainkan pula diwujudkan dalam tanda-tanda mushaf Al-Qur’an. Dengan perkembangan seni tulisan, mushaf Al-Qur’an juga tampak semakin indah.

Percetakan Mushaf Al-Qur’an

Mushaf Al-Qur’an pertama kali tidak  dicetak oleh umat islam. Mushaf Al-Qur’an pertama kali dicetak di Venezia, Italia (Bunduqiyyah) tahun 1530 M. Atas perintah gereja, mushaf Al-Qur’an cetakan tersebut dimusnahkan. Kemudian ada seorang jerman yang bernama Hinkelmann mencetak mushaf Al-Qur’an di Hanburg pada tahun 1694 M. Setelah itu, Muracci mencetak Mushaf Al-Qur’an di Padoue pada tahun 1698 M. Cetakan-cetakan tersebut sengaja tidak disiarkan di dunia islam. Baru pada tahun1787 M, Mushaf Al-Qur’an dicetak di Saint Petersbourgh atau sekarang Leningrad Rusia dan disebarkan didunia Islam atas usaha Maulaya ‘Utsman. Mushaf Al-Qur’an ini juga dicetak di Kazar. Kemudian ia terbit lagi di Teheran Iran pada tahun 1828 M. Lima tahun berikutnya, yakni tahun 1833 M. Mushaf Al-Qur’an tercetak di Tabriz. Pada tahun 1834 M, Flugel mencetak mushaf Al-Qur’an di Leibzig. Cetakan Flugel ini mendapat sambutan yang baik di Eropa, karena ejaannya baru dan mudah dibaca, namun umat Islam tidak menyukai percetakaan Al-Qur’an tersebut karena kebencian mereka terhadap pihak kolonial yang dipandang sebagai orang kafir.

Di Istanbul Turki, mushaf Al-Qur’an dicetak pada tahun 1877 M. Di Kairo Mesir mushaf Al-Qur’an dicetak pada tahun 1933 M, dengan pengawasan Universitas Al-Azhar dan lajnah yang dibentuk oleh pemerintah Raja Fuad I. Mushaf Al-Quran yang cetak bagus ini disesuaikan dengan riwayat Hafsh atas bacaan ‘Ashim.

Di Indonesia, tersebar mushaf Al-Qur’an cetakan Bombay yang penyebarluasannya dipelopori oleh Sulaiman Mar’i Singapura, Salim bin Nabhan Surabaya, dan Abudullah bin Afif Cirebon. Melalui surat Keputusan Menteri Agama No. 1 tahun 1957, terbentuk badan lajnah pentashih mushaf Al-Qur’an. Badan ini bertugas untuk meneliti dan mengawasi Al-Qur’an yang beredar di Indonesia, baik dalam bentuk buku, kaset, piringan hitam, maupun tulisan Braille.

Leave a comment