Penyebaran Islam dan perkembangan Islam di Nusantara yang dimulai sejak masuknya Islam di Nusantara ini, tidak lepas dari dakwah-dakwah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam, dan terus berkembang dengan datangnya para kaum perintis pembaruan Islam dari daerah-daerah Timur.
Penyebaran Islam di Nusantara ini juga tidak bisa dipisahkan dari ajaran tasawuf. Bahkan “Islam Pertama” yang dikenal di Nusantara ini sesungguhnya adalah Islam yang disebarkan dengan pendekatan sufistik. Para penyebar Islam di Nusantara itu, umumnya para da’i yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tasawuf.
Mereka diantaranya adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, Abd, dan banyak lagi yang lainnya. Mereka adalah orang yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di Nusantara ini, khususnya di Aceh.
Pada makalah ini akan membahas beberapa tokoh yang disebutkan di atas terkait bagaimana biografi, karya-karyanya dan pengaruhnya dalam merintis perkembangan Islam di Nusantara.
Hamzah Fansuri adalah seorang cendikiawan, ulama tasawuf, sastrawan, dan budayawan terkemuka. Ia diperkirakan telah menjadi penulis pada masa Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid al-Mukammal (1588-1604) maka dapat ditarik benang merah jika Hamzah Fanshuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Ia berasal dari Fansur yakni sebuah kota pantai di barat Sumatera bagian utara, arah ke selatan daerah Aceh (sekarang sebagian masuk dalam wilayah Sumatera Utara). Ciri khas negeri Fansur itu adalah penghasil kapur barus yang sangat terkenal di dunia pada saat itu. Ia sering melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekah, Madinah, dan lain-lain. Setelah pengembaraannya selesai, ia kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya.
Pada mulanya ia berdiam di Barus lalu ke Banda Aceh, kemudian ia mendirikan dayah di Oboh, Singkil.Hamzah Fansuri termasuk orang yang sangat gemar dan mementingkan dalam mencari ilmu, terutama ilmu agama, khususnya tasawuf. Untuk itu, ia tidak segan-segan berpergian jauh dalam waktu lama untuk tujuan itu. Namun, perjalanannya tidak hanya untuk mencari ilmu pengetahuan tetapi juga untuk kepentingan amalan agama, terutama berkaitan dengan ajaran tasawuf yang dianutnya. Hamzah Fansuri dapat dikatakan tokoh tasawuf dari Aceh yang membawa faham wahdatul wujud. Ajaran Hamzah Fansuri ini banyak bersumber dari pemikiran Ibnu Arabi. Ajaran wahdatul wujud adalah ajaran yang meyakini bahwa Tuhan dapat bersatu dengan makhluknya atau serupa dengan pengertian pantheisme. Jasanya yang paling menonjol dalam bidang pendidikan adalah usahanya memperkaya bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang tidak kalah dengan bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dunia lain. Oleh karena itu, Hamzah Fansuri dianggap sebagai perintis penggunaan bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang hingga kini semakin berkembang pesat.
Dalam buku Hamzah Fansuri Penyair Aceh, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa Syeikh Hamzah Fansuri hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H-1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H-1607-1636 M).
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai ilmu yang memakan waktu lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke berbagai tempat, di antaranya ke Banten, bahkan sumber yang lain menyebut bahwa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab. Dikatakan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf, falsafah, mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, berkebolehan berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.
2. Syair-syair hamzah fansuri
Syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain :
Bercerita tentang burung pinggai yang melambangkan jiwa manusia dan Tuhan. Dalam syair itu, Hamzah Fansuri mengangkat satu masalah yang banyak dibahas dalam tasawuf, yaitu hubungan satu dan banyak. Yang esa adalah Tuhan dengan alamnya yang beraneka ragam.
Tentang kesengsaraan seorang anak dagang yang hidup di rantau.
Bercerita tentang hubungan manusia dengan Tuhan.
- Syair sidang faqir
- Syair ikan tongkol
- Syair perahu
Melambangkan tubuh manusia sebagai perahu layar di laut. Pelayaran itu penuh marabahaya. Apabila manusia kuat memegang keyakinan akan Tuhan maka dapat dicapai suatu tahap yang menunjukkan tidak adanya perbedaan antara Tuhan dengan hambanya.
Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain :
- Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid
- Syarbul ‘asyiqiin
- Al-Muhtadi
- Ruba’i Hamzah al-Fansuri
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana tanah air. Yang banyak membicarakan tentang Syeikh Hamzah Fansuri antara lain Prof. Syed Muhammad Naquib dengan beberapa judul bukunya mengenai tokoh sufi ini, tidak ketinggalan seumpama Prof. A. Teeuw juga r.O Winstedt yang diakuinya bahwa Syeikh Hamzah Fansuri mempunyai semangat yang luar biasa yang tidak terdapat pada orang lainnya. Dua orang yaitu J. Doorenbos dan Syed Muhammad Naquib al-Attas mempelajari biografi Syeikh Hamzah Fansuri secara mendalam untuk mendapatkan Ph.D masing-masing di Universitas Leiden dan Universitas London. Karya Prof. Muhammad Naquib tentang Syeikh Hamzah Fansuri antaranya :
- The Misticim of Hamzah Fansuri (disertat 1966), Universitas of Malaya Press 1970
- Raniri and The Wujudiyah, IMBRAS, 1966
- New Light on Life of Hamzah Fansuri, IMBRAS, 1967
- The Origin of Malay Shair, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968[1][3]
Menurut beberapa pengamat sastra sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah al-Fansuri tergolong dalam Syi’r al- Kasyaf wa al-Ilham, yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan (kasyafi yang umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi).
3. Pemikiran Hamzah Fanzuri
Di bidang keilmuan Syeikh Hamzah Fansuri telah mempelajari penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya-karya Syeikh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis di dalam bahasa Arab atau Persia. Di bidang sastra Syeikh mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam, kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lan yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan 18 kebanyakan berada di bawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri. Di bidang kesusastraan pula Syeikh Hamzah Fansuri adalah orang pertama yang memperkenalkan syair, puisi empat baris dengan skema sajak akhir a-a-a-a syair sebagai suatu bentuk pengucapan sastra seperti halnya pantung sangat populer dan digemari oleh para penulis sampai pada abad ke-20.
Di bidang kebahasaan pula sumbangan Syeikh Hamzah Fansuri sukar untuk dapat di ingkari. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan di dalam bahasa Melayu, Syeikh Hamzah Fansuri telah berhasil mengangkat martabat bahasa Melayu dari sekedar lingua franca menjadi suatu bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang canggih dan modern. Dengan demikian kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara yang lain, termasuk bahasa Jawa yang sebelumnya telah jauh lebih berkembang. Kedua, jika kita membaca syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Syeikh Hamzah Fansuri, akan tampak betapa besarnya jasa Syeikh Hamzah Fansuri dalam proses Islamisasi bahasa Melayu dan Islamisasi bahasa adalah sama dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan.
Di bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra Syeikh Hamzah Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian, kepiawaian Syeikh Hamzah Fansuri di bidang hermeneutika terlihat di dalam Asrar al-‘arifin (rahasia ahli makrifat), sebuah risalah tasawuf klasik paling berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara, disitu Syeikh Hamzah Fansuri memberi tafsir dan takwil atas puisinya sendiri, dengan analisis yang tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistemologi dan estetika. Asrar bukan saja merupakan salah satu risalah tasawuf paling orisinal yang pernah ditulis di dalam bahasa Melayu, tetapi juga merupakan kitab keagamaan klasik yang paling jernih dan cemerlang bahasanya dengan memberi takwil terhadap syair-syairnya sendiri Syeikh Hamzah Fansuri berhasil menyusun sebuah risalah tasawuf yang dalam isinya dan luas cakrawala permasalahannya.
SYAMSUDDIN AS-SUMATRANI
1. Biografi
Syamsuddin as-Sumatrani, nama lengkapnya adalah Syekh Syamsuddin bin Abdillah as-Sumatrani, sering pula disebut dengan Syamsuddian Pasai. Ia adalah ulama besar yang hidup di Aceh pada beberapa dasawarsa terakhir abad ke-16 dan tiga dasawarsa pertama abad ke-17. Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka dapat diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana. Ia adalah Syaikhul Islam di Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1670-1636). Sebagai seorang ulama Tasawuf ia memiliki banyak pengikut.
Bersama Hamzah Fansuri, Syamsuddin merupakan tokoh aliran wujudiyyah (penganut aliran wahdatul wujud). Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah) terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Tidak banyak literatur yang dapat mengungkapkan identitas Syamsuddin dengan rinci, kecuali beberapa kitab lama seperti Hikayat Aceh dan Bustan as-Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri (w. 1658/1069). Kitab ini banyak menguraikan para ulama yang datang dan mengajar di Aceh pada abada ke-16 dan ke-17, buku-buku yang meraka karang, serta ilmu-ilmu yang diajarkan.
2. Karya-karya syamsuddin as-sumatrani
Syamsuddin menulis banyak buku berbahasa Arab dan Melayu (dengan judul bahasa Arab). Karya tulis ini tidak banyak diketahui karena telah dibakar oleh Nuruddin ar-Raniri atas perintah Sultan Iskandar Tsani (1636-1641). Ajaran Syamsuddin dan Hamzah Fansuri ditentang oleh Nuruddin ar-Raniri karena dinilai sesat serta dianggap sebagai ajaran panteisme. Kitab-kitab Syekh Syamsuddin yang ditemukan juga tidak lengkap. Di antara bukunya adalah Mirat al-Mu’min (Warisan orang yang beriman) dan Mirat al-Muhaqiqina (warisan orang yang yakin).
Karya-karya yang lain meliputi :
- Jawahirul Haqaaiq
- Tanbiihut Thullab fi Ma’rifat Maliki Wahhab
- Risaalatu Baiyin Mulahazat al-Muwahhidiin Muhtadi fi Zikrillahi
- Kitabul Harakah
- Nurud Daqaaiq
Hawash Abdullah membagi beberapa kategori buku karangan Syamsuddin dalam beberapa kelompok. Kelima kitab di atas merupakan kitab karangan Syamsuddin dalam bahasa Arab, selain itu ada kitab yang ditulis dalam bahasa Melayu serta beberapa kitab yang belum dapat diidentifikasi ditulis dalam bahasa Arab atau Melayu.
3. Pemikiran dan Pengaruh Syamsuddin as-Sumatrani
Nuruddin ar-Raniri, dalam Bustan as-Salatin menuliskan bahwa Syeikh (Syamsuddin as-Sumatrani) itu alim pada segala ilmu dan ialah terkenal pengetahuannya pada Tasawuf dan beberapa kitab yang dita’lifkannya. Paham Tasawuf Wujudiyyah Syamsuddin menyatakan bahwa wujud hakiki itu hanya satu, yaitu wujud Tuhan. Wujud makhluk tidak ia ingkari, tapi bila dibandingkan dengan wujud hakiki (Tuhan), wujud makhluk hanya seperti bayangan saja dari wujud Tuhan. Sebagai wujud bayangan, makhluk ini tidaklah berwujud karena dirinya sendiri, tetapi bergantung kepada wujud Tuhan. Ia (Syamsuddin) juga mengingatkan para muridnya tentang perbedaan paham muwahhid yang benar dengan paham kaum sesat (zindik). Menurut pandangan yang dianutnya, seorang yang arif hanya menafikan (meniadakan) makhluk, takkala ia berada pada martabat (taraf) fana, sedangan menurut pandangan yang kedua (sesat), makhluk ditiadakan karena wujud Tuhan diyakini berada dalam kandungan makhluk itu.
Beberapa pandangan as-Sumatrani sebagai berikut; pertama, Tuhan adalah wujud yang awal, sumber dari segala wujud dan kenyataan satu-satunya. Kedua, Zat adalah wujud Tuhan, Ia adalah kesempurnaan dalam kemutlakan yang tinggi, sesuatu yang di luar kemampuan manusia untuk memikirkannya. Zat itu wujud dan asal dari segala yang ada. Wujud yang ada ini tidak berbeda dengan wujud Allah SWT. Wujud Allah mencakup baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Ketiga, hakikat zat dan sifat dua puluh adalah satu. Jadi zat itu adalah sifat. Selanjutnya dia mengungkapkan bahwa sifat Allah kadim dan baqa, sedangkan sifat manusia fana. Allah SWT ada dengan sendirinya, sedangakan manusia dibuat dan tidak ada. Hal ini seperti orang melihat cermin dengan rupa yang terbayang dalam cermin; orang yang melihat cermin itu kadim sedangkan rupa dalam cermin itu muhdat (baru diciptakan) serta fana. Kelima, ajaran wujud tercakup dalam martabat tujuh, yang pada dasarnya seperti paham martabat tujuh al-Burhanpuri. Pemikiran Syamsuddin selanjutnya dalah mengenai tafsiran kalimat syahadat seperti kaum wujuddiah yang lain. Terakhir adalah pandangannya mengenai orang yang memiliki ma’rifah (pengetahuan) yang sempurna adalah orang yang mengatahui aspek perbedaan (tanzih), dan aspek kemiripan (tasybih) antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Adapun martabat tujuh yang dikembangkan syamsuddin itu meliputi: martabat ahadiyyah (tanpa pembeda), martabat wahdah (pembedaan yang pertama), martabat wahidiyyah (pembedaan yang kedua), martabat alam arwah (pangkal segala nyawa), martabat alam mitsal (dunia ibarat), martabat alam ajsam (dunia kausal), dan martabat alam insan (dunia kamil).
Pandangan Syamsuddin dalam Taswuf secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola pikir Ibn Arabi. Dia banyak belajar dari Hamzah Fansuri yang demikian kuatnya paham wujudiah. Paham martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin Sumatrani dengan gurunya Hamzah Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak ditemukan pengajaran ini. Tetapi keduanya sangat menekankan pemahaman tauhid yang murni, bahwa Tuhan tidak boleh disamakan atau dicampurkan dengan unsur alam. Dalam pengajaran Hamzah Fansuri dikenal dengan la ta’ayyun. Sedangkan dalam pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Allah. Kedua ajaran Tasawuf ini dalam banyak aspek tetap berpedoman pada sumber asalnya, yaitu ajaran Ibn Arabi maupun al-Jilli. Meskipun demikian, Syekh Syamsuddin juga seorang yang sangat ahli di bidang lain. Hal ini terlihat ketika ia menjabat sebagai penasihat keagamaan pada masa Sultan Iskandar Muda. Pengetahuannya dalam bidang agama menjadikannya menempati posisi penting di kerajaan.
NURUDDIN AL-RANIRI
- Biografi
Syeikh Nur al-Din al-Raniri adalah seorang ulama yang terkenal dan masyhur. Beliau tidak hanya terkenal di kalangan dunia Melayu saja, bahkan beliau juga terkenal di kalangan pengarang-pengarang Barat. Beliau terkenal sebagai seorang pujangga dan seorang ulama’, tetapi pengaruhnya lebih berkesan kepada Masyarakat Melayu dalam bidang agama.
Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17. Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniri. Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat, India, dan mengaku memiliki darah suku Quraisy, suku yang juga menurunkan Nabi Muhammad SAW. Ayahnya adalah seorang pedagang Arab yang bergiat dalam pendidikan agama.
Nuruddin adalah seorang polymath, yaitu orang yang pengetahuannya tak terbatas dalam satu cabang pengetahuan saja. Pengetahuannya sangat luas, meliputi bidang sejarah, politik, sastra, filsafat, fikih, dan mistisisme. Nuruddin mula-mula mempelajari bahasa Melayu di Aceh, lalu memperdalam pengetahuan agama ketika melakukan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah, ia mendapati bahwa pengaruh Syamsuddin as-Sumatrani sangat besar di Aceh. Karena tidak cocok dengan aliran wujudiyah yang disebarkan oleh Syamsuddin, Nuruddin pindah ke Semenanjung Melaka dan memperdalam ilmu agama dan bahasa Melayu di sana.
Nuruddin Ar-Raniri diperkirakan datang ke Aceh pada tanggal 6 Muharram 1047 H (31 Mei 1658) pada masa pemerintahan Iskandar Thani. Yaitu setahun selepas Sultan Iskandar Thani memerintah. Sebelum beliau belayar ke Aceh, beliau terlebih dahulu pergi ke Pahang. Beliau pergi ke Pahang setelah beliau menamatkan pengajiannya di Makkah. Pahang pada waktu itu berada di bawah taklukan Aceh, yang merupakan sebuah kerajaan yang dikenali dengan Aceh Darussalam. Aceh pada waktu itu merupakan sebuah pusatperdagangan, kebudayaan, politik serta pusat pengajian Islam yang terkenal.
Pendidikan dasarnya dipercayai telah diperolehnya di tempat kelahirannya yaitu di Raniri atau Rander yang berdekatan dengan Gujerat, India. Setelah mendapatkan pendidikan awal dan menguasai sejumlah ilmu di Raniri, Ia berangkat ke Makkah dan Madinah pada tahun 1030 H/1621 M.
Disana beliau sempat menjadi murid dan belajar kepada Syaikh Abu Hafs Umar Abd Allah Ba Shaiban al-Tarimi al-Hadrami atau dikenali juga dengan nama lainnya iaitu Sayyid Umar al-Aydrus. Dari ulama’ ini, beliau belajar dan mengambil bay’ah Tariqah’iyyah. Syaikh dalam Tariqah Rifa’iyyah ini merupakan anak murid kepada Syaikh Muhammad al-Aydrus.
Selain daripada Tariqah Rifa’iyyah, Syaikh Nur al-Din juga mengamalkan Tariqah Qadariyah. Selain itu, beliau juga mempelajari Tariqah Aydarusiyyah, Tariqah Shadhiliyyah dan Tariqah Suhrawardiyyah. Namun begitu, walaupun beliau mempelajari banyak tariqah, beliau hanya diangkat sebagai khalifah dalam Tariqah Rifa’iyyah oleh gurunya Ba Shayban.
Selama beliau tinggal dinegerinya Ranir dan selama bermukim di Tanah Arab, Nuruddin ar-Raniri telah belajar bahasa Melayu, karena kedudukan bahasa Melayu pada waktu itu sangat penting sebagai bahasa penghubung di Asia Tenggara, bahkan sampai ke Asia Timur, sehingga sebelum hijrah ke Tanah Melayu dan Aceh, Nuruddin telah menguasai bahasa Melayu dengan baik.
2. Karya-karya Nuruddin ar-Raniri
Nuruddin Ar-Raniri banyak menghasilkan tulisan yang bernilai tinggi baik berbahasa Melayu Jawi dan karya berbahasa Arab dalam bebagai bidang. Karya karya beliau mencakup bidang hadits, sejarah, perbandingan agama, fiqih, akidah, tasawwuf dan bidang-bidang lain yang semuanya melebihi 30 buah buku. Beliau seorang ulama’ yang sangat berpengaruh dan mempunyai ilmu yang tinggi terutama menerusi usahanya membenteras fahaman wujudiah yang berkembang di nusantara pada ketika itu.
Karya-karya Nuruddin Ar-Raniri cukup banyak. Diantara karyanya yang telah diteliti dan diterbitkan, yaitu:
1) Al-Sirat al-Mustakim. Kitab ini berisi ajaran tentng ibadah yakni shalat, puasa, zakat, haji, hukum kurban, berburu, hukum halal dan haram dalam hal makanan); kitab ini ditulis pada tahun 1044 H. (1634 M) dan selesai tahun 1054 H. (1644 M).
2) Durrat al-Fara’id bi Syarh al-‘Aqaid. Kitab ini mengenai akidah dan merupakan saduran serta terjemahan dalam bahasa Melayu dari kitab Syarh al-‘aqaid an Nasafiyyah karya Imam Sa’dudin al-Taftarani; ditulis sebelum tahun 1045 H (1635 M).
3) Hidayat al-Habib fi al Targhib wa al Tarhib. Kitab hadits ini berisi 831 haditsdalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab hadits ini mengenaibhadits untuk memuji pekerjaan yang baik supaya orang menjauhkan diri dari pekerjaan jahat; ditulis pada tahun 1045 H. (1635 M). Dua kitab ini (no 2 dan 3),di tulis di semenanjung tanah Melayu dan dibawa ke Aceh pada zaman Sultan Iskandar Tsani.
4) Bustan al-Salatin fi dzikr al-awwalin wa al-Akhirin.Ini adalah kitab sejarah yang merupakan karya Nuruddin terbesar yang pernah dihasilkan orang dalam bahasa Melayu. Kitab ini ditulis setelah Nuruddin berada di Aceh tujuh bulan lamanya, yaitu pada tanggal 17 Syawal 1047H (1637 M). mengenai kejadian tujuh petala langit dan bumi serta segala nabi-nabi, raja-raja, dan mentri-mentri; yang kesemuanya terdiri dari tujuh bab.
5) Nubdzah fi da’wa al zhill ma’a sahibihi. Kitab ini ditulis dalam Bahasa Arab, dan menerangkan perdebatan antara nuruddin ar-Raniri dan muridnya, Shams al-din mengenai kesesatan ajaran Wujudiyyah.
6) Lata’if al-asrar (Kehalusan Rahasia).Kitab ini ditulis dalam Bahasa Melayu , yang membahas mengenai ajaran tasawuf.
7) Asrar al-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman. Kitab ini ditulis dalam Bahasa Melayu dan Arabyang membahas mengenai manusia, terutama ruh,sifat, dan hakikatnya, serta hubungan manusia dengan Tuhan.
Selain yang disebutkan di atas, masih banyak lagi beberapa karya yang diterbitkan.
3. Pemikiran dan Pengaruh Nuruddin ar-Raniri
Al-Raniri merupakan sosok ulama yang memiliki banyak keahlian. Dia seorang sufi, teolog, faqih (ahli hukum), dan bahkan politisi. Keberadaan Al-Raniri seperti ini sering menimbulkan banyak kesalahpahaman, terutama jika dilihat dari salah satu aspek pemikiran saja. Maka sangat wajar, jika beliau dinilai sebagai seorang sufi yang sibuk dengan praktek-praktek mistik, padahal di sisi lain, Al-Raniri adalah seorang faqih yang memiliki perhatian terhadap praktek-praktek syariat. Oleh karena itu, untuk memahaminya secara benar, haruslah dipahami semua aspek pemikiran, kepribadian dan aktivitasnya.
Keragaman keahlian Al-Raniri dapat dilihat kiprahnya selama. di Aceh. Meski hanya bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan Al-Raniri dalam perkembangan Islam Nusantara tidak dapat diabaikan. Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut. Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di negeri ini, Al-Ranirilah yang menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.
Bahkan, Al-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah dan benar. Upaya seperti ini memang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu, seperti Fadhl Allah Al-Burhanpuri. Namun, Al-Burhanpuri tidak berhasil merumuskannya dalam penjabaran yang sisternatis dan sederhana, malahan membingungkan para pengikutnya, sehingga Ibrahim Al-Kurani harus memperjelasnya. Upaya-upaya lebih lanjut tampaknya pernah juga dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan Samsuddin Al-Sumaterani, tetapi keduanya gagal memperjelas garis perbedaan antara Tuhan dengan alam dan makhluk ciptaannya.
Pemikiran-pemikiran ar-Raniri seperti yang dijelaskan di atas, ternyata mempunyai pengaruh yang besar di seluruh Nusantara, sehingga peranan Nuruddin ar-Raniri dalam perkembangan Islam di wilayah Melayu-Indonesia tak bisa diabaikan. Dia memainkan peranan penting dalam membanwa tradiisi besar Islam-Sunni- ke wilayah ini dengan mengalahkan kecendrungan kuat intrusi tradisi lokal ke dalam Islam. Tanpa mengabaikan peranan ulama-ulama lain sebelumnya, ar-Raniri merupakan suatu mata rantai yang sangat kuat, yang menghubungkan tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam di Nusantara. Pemikiran Nuruddin ar-Raniri ini juga banyak diikuti murid-muridnya, dan muridnya yang paling menonjol di Nusantara adalah al-Muqassari. Al-Muqassari sendir secara tegas menyatakan bahea ar-Raniri adalah syaikh dan gurunya.
Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar yang dihadapi umat Islam, terutama di Nusantara, adalah aqidah. paham immanensi antara Tuhan makhluknya sebagaimana dikembangkan oleh paham Wujudiyyah merupakan praktek sufi yang berlebihan. Mengutip doktrin Asy’ariyyah, Al-Raniri berpandangan bahwa antara Tuhan dan alam raya terdapat perbedaan (mukhalkfah), sementara antara manusia dan Tuhan terdapat hubungan transenden.